Dalam hangatnya Mentari pagi, satu jam setelah mengarungi perairan Selat Sunda dari Pantai Carita, Banten, gugusan pulau-pulau Krakatau telah terlihat. Gunung Anakkrakatau terlihat di tengah-tengah di antara Pulau Rakata dan Pulau Panjang, kecil, samar-samar dan timbul tenggelam oleh gelombang laut yang saat itu cukup besar. Tiba-tiba, ada yang tampak menarik penglihatan di puncaknya, kepulan asap. Ya, asap dari letusan Anakkrakatau. Tepat pukul 08.01 pagi hari itu, Minggu 2 September 2012, Gunung Anakkrakatau meletus!
Asap itu makin lama makin membesar. Melihat asap letusan yang bergulung-gulung di atas kawahnya, sekali pun masih berjarak sekitar 10 – 20 km lagi, perasaan kami campur aduk antara senang, takjub, tegang, khawatir, dan sedikit kecewa. Senang dan takjub karena inilah kesempatan langka menyaksikan Gunung Anakkrakatau yang pertama kali muncul ke permukaan laut pada 29 Desember 1927 sedang aktif.
Namun tentu saja tegang dan khawatir karena siapa yang dapat memperkirakan bahwa letusan bisa-bisa akan semakin membesar dan membahayakan. Di balik itu, kami sedikit kecewa karena dengan terjadinya letusan itu, tujuan utama untuk mengeksplorasi Gunung Anakkrakatau hingga ke puncaknya dan mengamati kawah dari tepiannya menjadi batal.
Galau oleh perasaan itu, tiba-tiba 15 menit kemudian, letusan kedua terjadi. Lalu berulang 20 menit kemudian setelah letusan kedua. Selanjutnya letusan berlangsung tiada henti berselang 10 – 25 menit sekali. Saat perahu motor Sri Kembang yang kami sewa semakin mendekati dan berada di atas kaldera yang tenggelam, letusan itu begitu besar. Asap putih bergulung-gulung dan batu beterbangan. Letusan seperti ini dikenal sebagai letusan bertipe strombolian. Sangat menakjubkan mengingat ekspedisi geotravel ke Krakatau itu adalah juga untuk memperingati 129 tahun letusan kolosal 27 Agustus 1883. Bayangan letusan dahsyat Krakatau di 1883 menyergap alam pikiran kami. Bagaimana seandainya terulang saat itu? Kami tidak ingin membayangkannya lebih jauh.
Orkestra Alam Si Bongsor
Sekalipun khawatir, kami dengan cermat mengamati proses letusan dengan cara mengarahkan perahu motor Sri Kembang di sisi timur laut Gunung Anakkrakatau. Di antara lapangan lava blok yang sangat kasar, kami mengamati saat itu lontaran bom dan semburan abu volkanik terarah ke barat laut dan dalam radius sekitar puncaknya saja. Di pantai pasir yang berwarna kehitaman, kami amati begitu banyak endapan batuapung. Jelaslah batu yang sangat ringan itu merupakan hasil letusan 1883.
Saat kami berlabuh di pantai, sekelompok nelayan dari Lampung telah datang sehari sebelumnya dan berkemah. Mereka sedang asyik bercengkerama, katanya menunggu saat yang tepat untuk menangkap ikan. Suara gemuruh berulang-ulang dari Gunung Anakkrakatau mereka anggap sebagai sesuatu yang biasa. “Iya, anggap saja ada yang sedang bekerja membangun rumah,” begitu tanggapan mereka terhadap suara-suara gemuruh letusan itu tanpa merasa khawatir sama sekali.
Suara gemuruh aktivitas gunung api itu terdengar tiada henti. Pergerakan magma di dalam tubuh gunung bagaikan ensambel suatu orkestra alam. Musik alam itu bagaikan irama marching band yang sedang memainkan satu komposisi yang kemudian setiap jeda diakhiri oleh gong besar dan pukulan simbal yang keras. Lalu asap membumbung tinggi dan batu-batu beterbangan yang kemudian berjatuhan di lereng puncaknya. Begitu berulang-ulang.
Kami mencoba singgah ke arah kaki gunung dan naik sedikit pada tempat yang lebih terbuka. Kekhawatiran kami sedikit berkurang karena di antara kami ada dua ahli gunung api yang telah terbiasa mengamati gunung api saat sedang aktif, yaitu Igan S. Sutawijaya dan Syamsul Rizal Wittiri. Bahkan Igan telah terbiasa dengan Anakkrakatau yang disebutnya Si Bongsor karena pertumbuhannya begitu cepat. Sejak kemunculan pertama berupa letusan jet uap pada 1927, letusan magmatis yang diakhiri aliran lava mulai teramati pada 1930. Setahun sebelumnya, 1929, peserta pertemuan ilmiah Asia Pasifik yang berlangsung di Batavia dan Bandung, berekskursi di perairan Krakatau, dan mengamati Anakkrakatau yang sedang tumbuh. Hingga 2004, ketinggian Anakkrakatau terukur 305 m dpl. Sekarang diperkirakan puncaknya sudah mendekati elevasi 400 m dpl.
Di lereng bagian utara itu, dengan tetap menjaga jarak aman dari jatuhan bom letusan, kami mengobservasi Anakkrakatau, di antaranya menjelajah lapangan lava bongkah yang menjorok hingga ke pantai timur laut. Lava bersifat basaltis itu merupakan hasil erupsi 1995 yang membentuk kipas-kipas lava ke arah barat laut, utara, dan sedikit ke arah timur laut. Di antara bongkah-bongkah lava itu, kami terpana ketika kaki kami menginjak “tahi sapi.” Begitu besarnya “tahi sapi” tersebut, tidak terbayang seberapa besar “sapi”nya.
Ya, itu adalah istilah bom gunung api yang saat jatuh memang menyerupai tahi sapi. Sapinya adalah Si Bongsor Anakkrakatau. Bentuk lain berupa bongkah-bongkah besar yang dikenal sebagai bom kerak roti. Tahi sapi dan kerak roti tersebar di mana-mana di antara sisa-sisa aliran gulali lava 1995 itu. Kelihatannya nikmat-nikmat saja ketika semuanya telah membeku. Namun, tidak terbayangkan saat 1995 itu di tempat yang kami injak. Pasti bagaikan neraka: lava pijar mengalir dan bom-bom volkanik besar berjatuhan.
Ketika kami bergeser tempat berlabuh di pintu gerbang Cagar Alam Gunung Anakkrakatau, banyak rombongan, baik wisatawan maupun para peneliti, yang telah tiba terlebih dahulu. Di antara mereka adalah tim peneliti botani dari Biologi LIPI di bawah pimpinan Prof. Dr. Tukirin Partomihardjo (59) yang bahkan bermaksud bermalam di tempat itu. Prof. Dr. Tukirin dikenal sebagai peneliti yang aktif mengikuti perkembangan flora di Gunung Anakkrakatau sejak pulau gunung api itu gersang tanpa tumbuhan hingga kemunculan tumbuhan-tumbuhan perintis. Pengamatan mereka terhadap flora Gunung Anakkrakatau didampingi dua jurnalis dari Majalah Trubus.
Karena jadwal kami harus kembali ke daratan Banten hari itu juga, kami bersiap bertolak dengan tidak lupa mengingatkan mereka untuk segera evakuasi karena kecenderungan erupsi yang semakin besar. Perahu motor Sri Kembang segera memutar kembali ke arah utara, mencoba untuk berlabuh di Pulau Sertung tetapi rupanya tidak memungkinkan dengan gelombang yang cukup tinggi. Akhirnya kami mengarahkan nakhoda Sri Kembang menuju Pulau Rakata. Saat itulah aktivitas Gunung Anakkrakatau semakin dahsyat. Dari sisi selatan, semburan lava pijar yang berwarna merah sangat kentara disertai dentuman yang berulang-ulang. Pikiran kami kembali menjelajah waktu saat letusan 1883 itu, tentu dengan bayangan kekuatan alam yang berlipat-lipat dahsyatnya.
Saat mulai menjauh dari Gunung Anakkrakatau dan mendekat pantai utara Pulau Rakata yang curam, letusan Gunung Anakkrakatau menyembur lurus ke angkasa. Ini pertanda energinya semakin kuat. Kami membayangkan bahaya yang akan menimpa mereka yang masih tinggal di Gunung Anakkrakatau. Tapi kami tidak berdaya karena tidak ada jaringan telepon seluler yang dapat menjangkau mereka. Kami hanya berharap mereka menyadari bahaya yang ada di depan mereka. Bukankah peringatan telah diberikan?
Letusan semakin membesar saat perahu motor beranjak meninggalkan Anakkrakatau menuju Pulau Rakata (BB).
jauh di lepas pantai arah Krakatau, sinar merah membayang di ufuk. Dalam pekatnya malam, rupanya pancaran lava pijar memberi wrna merah dan masih dapat diamati dengan mata telanjang sekali pun samar-samar. Gelegar letusannya pun terasa hingga pantai Banten, menggetarkan kaca-kaca jendela. Gunung Anakkarakatau semakin menggila. Di Pos PGA Anakkrakatau di Pasauran, Anyer, Kepala Pos Anton Sigit Tripambudi tampaknya harus begadang malam itu. Saat ia sibuk melayani telepon yang menanyakan status gunung api, salah seorang stafnya terus memantau seismograf yang bergerak tiada henti mencatat getaran-getaran yang ditimbulkan aktivitas Anakkrakatau.
Puing-puing Mercusuar Cikoneng
Saat kami datang dari Bandung sehari sebelumnya, Sabtu 1 September 2012, sepanjang pantai Anyer dan Carita menjadi daerah kunjungan wisata yang ramai. Jalan menjadi padat di beberapa pantai favorit. Di Cikoneng, Anyer, satu situs penting peristiwa letusan Krakatau 1883 adalah Mercusuar Cikoneng. Mercusuar yang masih berdiri sekarang adalah mercusuar pengganti dari mercusuar lama yang rubuh oleh terjangan tsunami akibat letusan dahsyat Krakatau 27 Agustus 1883. Di atas pintu masuknya terdapat prasasti tertulis dalam Bahasa Belanda: Onder de regeering van Z.M. Willem III Koning der Nederlanden enz. emz. enz. opgericht voor vast light 2 grootte ter vervanging van den steemen lighttoren in 1883 bu de ramp van Krakatau vermield, 1885. Artinya kira-kira: Pada masa pemerintahan Yang Mulia Raja Willem III dari Belanda telah didirikan mercusuar kedua untuk menggantikan mercusuar yang rubuh pada tahun 1883 akibat bencana letusan Krakatau, 1885. Di bagian belakang terdapat plakat yang menunjukkan perusahaan pembuat mercusuar tersebut: Vervaardigd door de firma L.I. Enthoven & Co. ‘s Cravenhage, Holland, 1885.
Mercusuar lama hanya meninggalkan fondasi batubata membundar persis di tepi pantai Anyer sekarang, sedangkan yang baru berjarak kira-kira 50 m ke arah daratan. Puing-puing bata runtuhan mercusuar lama berserakan di tepi pantai. Beberapa bongkahnya bahkan tersebar di beberapa tempat di aliran Ci Koneng yang bersampah. Saat orientasi antara fondasi dan puing-puingnya saya ukur, arahnya adalah N68oE atau miring 22o timur ke utara. Pada peta, orientasi ini tepat merupakan garis lurus ke arah gugusan Krakatau. Sungguh suatu terjangan tsunami yang sangat frontal.
Apakah hanya gelombang tsunami yang meruntuhkan mercusuar? Tidak jauh dari puing-puing mercusuar terdapat dua bongkah terumbu karang berukuran kira-kira sebesar truk dan mobil pick-up. Jelas dua bongkah batu ini bukan in-situ tetapi terumbu karang yang tadinya berada di laut, lalu terangkat oleh gelombang tsunami letusan Krakatau 1883 yang dilaporkan mencapai tinggi 30 m itu. Saat menghantam pantai Anyer, sebagian bongkahnya diperkirakan juga menghantam menara mercusuar dan meratakannya dengan tanah.
Seorang kakek berumur 73 tahun, Haji Agus Rosyidi, warga Kampung Cikoneng, bersemangat sekali ketika menceritakan cerita dari kakeknya yang menjadi saksi peristiwa letusan Krakatau 1883. Ia mengulang cerita kakeknya Haji Said tentang Haji Safik yang selamat dari tsunami, “Saat itu air laut surut terlebih dahulu dan banyak orang menyerbu ke pantai memunguti ikan yang bergeleparan. Mereka baru menyadari setelah kemudian datang gelombang yang sangat tinggi menyapu pantai. Safik terbawa gelombang tsunami tapi beruntung tersangkut di ujung pohon bambu. Saat tsunami surut, pohon bambu rebah, dan Safik selamat walaupun anusnya tertusuk ujung pohon bambu…” Argghhh….terasa ngilu walaupun hanya mendengarnya saja.
Haji Agus Rosyidi yang berperangai riang dan banyak bercanda mengaku sebagai keturunan Lampung. Walaupun di Cikoneng ia biasa berbahasa campur-campur Indonesia, Sunda, atau Lampung, tetapi menurutnya hampir semua warga Cikoneng berasal dari Lampung. Ia sempat menjadi Pebukapati, semacam kepala warga keturunan Lampung. Ia pun pernah menjadi Ketua Lampung Sai, perkumpulan warga Lampung di Banten.
Jejak-jejak Tsunami di Caringin
Caringin yang terletak ke arah selatan dari Carita sebelum Labuhan, pada abad ke-19 saat Krakatau meledak, merupakan kota yang ramai. Caringin adalah ibukota Keresidenan, tempat kantor-kantor Pemerintahan Hindia Belanda berpusat. Saat Caringin disapu bersih tsunami Krakatau 1883, pusat pemerintahannya dipindah ke Menes, jauh di pedalaman.
Di Caringin, satu situs masjid yang didirikan setahun setelah letusan Krakatau 1883 berdiri dengan anggun. Masjid asli yang tadinya berada dekat pantai, hancur oleh terjangan tsunami. Setahun setelah peristiwa tsunami 1883, pemimpin agama di Caringin, Syekh Asnawi (1850 – 1937) segera membangun kembali masjid di lokasi yang sekarang terletak di tepi jalan Anyer – Labuhan, lebih kurang berjarak 100 m dari tepi pantai. Namun, mimbar yang berada di dalam masjid adalah mimbar asli dari masjid yang hancur pada 1883.
Cerita tentang Syekh Asnawi dan tsunami Krakatau 1883 menjadi kenangan yang diceritakan turun-temurun oleh keluarga dan para pengikutnya. Diceritakan bagaimana Syekh Asnawi yang saat itu mestinya baru berumur 33 tahun, mempunyai firasat tajam akan datangnya bencana. Pada Mei 1883, ketika Krakatau memulai letusan-letusan pembuka jauh sebelum letusan dahsyat 27 Agustus 1883, Syekh Asnawi memimpin evakuasi keluarga dan pengikutnya ke arah Muruy, suatu tinggian yang berada di sebelah timur, setelah meliburkan semua kegiatan pesantren dan memulangkan santri-santrinya. Sayangnya, ia tidak berhasil membujuk penduduk untuk ikut evakuasi karena mereka enggan meninggalkan pekerjaan mereka sebagai petani atau nelayan.
Versi cerita lain yang lebih dramatis menyatakan bahwa tepat saat Syekh Asnawi dan rombongannya mencapai tinggian Cijongke, lidah tsunami yang dipicu letusan 27 Agustus 1883 baru menyusul di belakangnya. Dari pengukuran GPS tercatat tinggian Cijongke berada pada elevasi 38 m. Dari informasi ini terdapat kecocokan apa yang selama ini diceritakan bahwa tsunami yang ditimbulkan ledakan Krakatau mencapai ketinggian melewati pohon kelapa, yaitu lebih dari 30 m.
Sebelum beranjak kembali ke Bandung melalui Pandeglang, kami sempat makan siang di rumah makan sederhana yang ramai di Menes. Rumah makan kecil itu dikelola oleh seorang ibu asal Bugis yang telah lama tinggal di Banten, Teh Oneng. Masakannya terutama terdiri dari goreng-gorengan ayam, ikan, atau cumi-cumi cukup lezat. Pantas saja banyak masyarakat Menes, termasuk pejabat pemerintahan daerah setempat yang dapat dilihat dari seragam yang mereka pakai, berkunjung ke rumah makan itu untuk makan siang atau bahkan membungkusnya untuk dibawa pulang. Ditambah lalaban dan sambal, lengkaplah sudah persiapan perjalanan pulang kami ke Bandung. Hanya sayangnya, sayur asamnya tidak dapat dikatakan maknyus.
Dalam perjalanan panjang ke Bandung melalui tol Serang – Jakarta, dilanjutkan tol dalam kota Jakarta yang selalu padat, dan tol Jakarta – Cikampek serta Purbaleunyi, kami seolah-olah telah menjelajahi ingatan tentang peristiwa yang sempat menggegerkan dunia itu, letusan kolosal Krakatau 1883. Walaupun letusan 2 September 2012 tidak sengaja kami alami karena sebelumnya tidak menunjukkan aktivitas yang mengarah kepada erupsi, namun wisata semacam ini pada kesempatan lainnya harus ditunda demi keselamatan.
Geotravel yang kami jalani dapat digolongkan ke dalam geowisata minat khusus yang memerlukan kehati-hatian tinggi. Aktivitas wisata semacam ini tentu tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Pada beberapa kasus perlu didampingi ahli atau orang yang memang selain menguasai medan juga memahami perilaku gunung api. Kondisi fisik dan informasi tentang aktivitas gunung api mutlak harus dipersiapkan sebelumnya. Penjelajahan geowisata ke gunung api aktif bagaimana pun harus dengan persiapan sangat cermat. Di tempat tujuan, geowisatawan selalu harus melapor ke pos PGA terlebih dahulu. ***
Rubrik Geotravel di Geomagz, Majalah Geologi Populer, Vol 2 No 3, September 2012, Badan Geologi.
EmoticonEmoticon