Pak Daeng Beta, tanpa alas kaki, dengan lincah menapaki batugamping yang berpermukaan tajam. Tidak ada nyengir kesakitan. Padahal medannya turun-naik. Baginya memang berjalan di atas batu-batu tajam merupakan keseharian yang terus dilakoninya hingga usia sekitar 60 tahunan sekarang ini. Rumahnya yang berada di lembah yang diapit menara-menara karst Rammangrammang, membuatnya hidup melakoni semuanya, termasuk bertelanjang kaki berjalan di atas permukaan batugamping yang tajam.
Di bawah kaki Bulu Amarrung dan terpapar terik Matahari di atas Maros, Sulawesi Selatan, ia membawa kami ke satu bukit kecil yang secara geomorfologi bisa dikatakan seperti ‘meja.’ Aslinya ‘mesa’ dari Bahasa Spanyol yang artinya memang ‘meja.’ Morfologinya mempunyai puncak yang datar dengan lembah-lembah yang mengelilingi vertikal, memang persis meja. Kami melangkahkan kaki kami di atas lapisan-lapisan batugamping yang berlapis mendatar yang menjadi seperti anak tangga untuk mencapai puncaknya. Di ujung timur laut, menghadap lembah yang curam, beberapa lapisan batugamping yang datar, rupanya berada dalam posisi berdiri atau miring terjal. Batu-batu itu disusun di tepi bukit menjajar menghadap timur laut, sementara Bulu Amarrung menjulang tinggi di sisi timur. Bulu artinya ‘bukit’ dalam Bahasa Bugis, dan ‘amarrung’ artinya ‘bersuara.’
“Sejak dulu memang begini. Kami menganggap tempat ini keramat,” jelas pak Daeng Beta serius, “pernah ada orang yang mencoba membongkarnya, beberapa hari kemudian jatuh sakit dan meninggal dunia.” Karena pak Daeng Beta tidak dapat merujuk siapa yang mendirikan batu-batu ini, kami menganggapnya benteng pertahanan purbakala. Di sisi yang lain memang telah dikonfirmasi oleh ekskavasi arkeologi adanya gua ceruk (shelter cave), dinamai Leang Passaung, yang terbukti pernah menjadi hunian masyarakat prasejarah. Cangkang kerang dan keong yang diduga sebagai sisa-sisa makanan prasejarah tersebar di lereng ceruk. Di dinding ceruk juga terdapat coretan purbakala yang mirip tangan kecil berwarna merah dari bahan oker (pelapukan besi hematit).
Batugamping berlapis itu dibuat berdiri membentuk semacam benteng. Dapat dibayangkan bagaimana orang-orang yang berada di atasnya dengan mudah mempertahankan wilayahnya dari serbuan musuh yang datang dari arah lembah. Kampung yang sekarang bernama Dusun Beruah, memang berada pada lembah terbuka berarah timur laut – barat daya. Benteng purbakala itu menghadap timur laut sehingga besar kemungkinan untuk menangkis musuh yang datang dari arah Tonasa (sekarang wilayah pertambangan industri semen).
Warisan Geologi Karst Rammangrammang
Benteng purbakala dan Leang Passaung hanya dua dari aspek geoarkeologi di wilayah karst Ramamngrammang. Beberapa yang lain berupa gambar cadas yang lebih bervariasi, cap tangan dan gambar binatang atau perahu, misalnya dapat ditemui pada gua tinggi di Bulu Barakka (Bukit Berkah) dan beberapa gua lainnya. Aspek yang lebih bersifat geologi justru lebih berragam di wilayah karst Rammangrammang yang merupakan bagian kecil dari sistem karst menara (tower karst) Maros Pangkep. Beberapa singkapan dan aspek geologi bahkan patut digolongkan menjadi warisan geologi (geoheritage) karena keunikan dan kelangkaannya.
Dari sekian keragaman geologi (geodiveristas), beberapa yang sungguh luar biasa adalah kenampakan karst menara (tower karst atau mogote) dan pinnacle karst dengan morfologinya yang runcing di Dusun Bontopuru. Di antara sawah-sawah yang luas, genangan sisa rawa, atau kolam-kolam berhias tumbuhan teratai, latar belakang menara karst dan pinnacle karst yang berdiri kokoh menjadi sangat kontras dengan lingkungan sekitarnya. Permukaannya yang mengalami proses pelarutan minor (minor karst) membentuk tekstur garis-garis tegak yang bagaikan diukir dengan baji pada permukaan pinnacle.
Di sekitar Salo Pute, yang artinya ‘sungai putih,’pinnacle karst yang berlapis mendatar dengan retakan-retakan vertikal, mengalami proses pelarutan (karstifikasi) dan kemudian diabrasi sedemikian rupa sehingga menghasilkan morfologi-morfologi unik. Lorong-lorong bagai labirin, aliran sungai yang patah-patah, hingga terowongan alami, dan ceruk-ceruk yang membentuk kanopi batugamping, merupakan beberapa dari hasil bentukan proses karstifikasi itu.
Jika kita berperahu menghulu dari dermaga di jembatan Salo Pute, kita akan mengarungi aliran sungai yang masih terkena pengaruh pasang-surut. Pohon-pohon nipah dan api-api menghiasi tepi-tepi berrawa yang kontak ke singkapan-singkapan batugamping berdinding tegak. Di kejauhan bukit-bukit menara karst menjulang tegak. Tampak garis-garis lapisan mendatar dipotong oleh garis-garis tegak pola retakan. Banyak gua terbentuk akibat kombinasi dua unsur struktur geologi ini, melubangi dinding tegak dengan posisi sangat tinggi yang sulit untuk dicapai. Di beberapa tempat terdapat jendela-jendela karst yang memunculkan aliran sungai ke permukaan seperti di satu tempat yang disebut sebagai Taman Bidadari.
Ujung pengarungan sungai dengan perahu akan berakhir di dermaga Kampung Beruah. Setelah melewati lorong alami yang sempit dan beratap kanopi lapisan batugamping yang beratap rendah, tiba-tiba pemandangan terbentang luas pada lembah yang dikelilingi dinding bukit-bukit karst menara. Inilah Lembah Amarrung yang berarti ‘lembah bersuara.’ Tadinya nama ini seolah-olah tak bermakna. Namun ketika seorang anak penduduk kampung berteriak nyaring, suaranya dipantulkan dinding-dinding menara karst menimbulkan gema atau gaung. Barulah kami tersadar toponimi ‘amarrung’ lebih tepat berarti ‘bergema’ atau ‘bergaung.’
Semua keragaman geologi, ditambah adanya potensi geoarkeologi, dan ditunjang oleh alam yang masih asri, serta budaya kampung Bugis yang belum dipengaruhi budaya modern dengan rumah panggungnya yang khas, menjadikan kawasan karst Rammangrammang berpotensi untuk dikembangkan sebagai daerah tujuan wisata. Namun, pendekatan wisata kebumian, atau geowisata adalah alternatif yang sangat tepat, daripada wisata alam secara umum dan masal. Wisata yang memanfaatkan seluruh aspek geologi ini (sesuai definisi hasil Lokakarya Geowisata yang diselenggarakan oleh Puslitbang Geologi, Departemen ESDM, 1999) lebih menekankan kepada interpretasi dengan kunjungan yang terkendali melalui manajemen yang berbasis kepada pelestarian lingkungan. Sayangnya pihak Pemda Kabupaten Maros masih melihat dengan kacamata pariwisata masal dengan proyeksi PAD (Penghasilan Asli Daerah) alias instant cash money.
Untuk menjawab itu, Ira Prayuni, mahasiswa Program Studi Arsitektur Lansekap, ITB, telah dengan tepat mengembangkan rencana desain arsitektur lansekap dan program aktifitas wisata berbasis geowisata. Informasi tentang keindahan dan keunikan karst Rammangrammang yang didapat dari dosen pembimbing pertama dari Arsitektur ITB, Dr. Firmansyah, akhirnya bergulir dengan peran serta saya sebagai pembimbing kedua dari sisi geologi karstnya. Dengan pendekatan geowisata yang juga berpijak pada Deklarasi Quebec untuk Ekowisata, yaitu ikut berkontribusi kepada pelestarian lingkungan, wisatawan mendapat ilmu dan pengetahuan, serta masyarakat mendapatkan manfaat lingkungan dan ekonomi, desain dan program geowisata merupakan suatu keniscayaan.
Lebih jauh lagi, dengan keragaman geologi dan beberapa objeknya yang dapat digolongkan ke dalam warisan atau pusaka geologi (geoheritage), bukan tidak mungkin kawasan karst Rammangrammang dapat direkomendasikan sebagai suatu Taman Bumi, atau Geopark di bawah Jaringan Geopark Global (GGN: Global Geopark Network) UNESCO. Seperti belajar dari banyak taman bumi di banyak negara, ketika satu wilayah berhasil mendapat sertifikat geopark dari GGN UNESCO, peningkatan kunjungan menjadi signifikan dibarengi suatu dorongan kepada pemda dan masyarakat untuk tetap mempertahankan keasrian lingkungannya.
Boby Boyo, tokoh penggerak pariwisata setempat, akan menjadi tulang punggung untuk melakukan sosialisasi pentingnya masyarakat untuk menjaga keasrian lingkungannya. Boby selama ini telah berhasil dengan mendekati Pak Daeng Beta serta mengajak beberapa staff PT Semen Bosowa memperlihatkan keunikan kawasan ini. Namun tidak urung, beberapa masyarakat masih tetap menggali batu untuk fondasi rumah dan jalan seperti di Dusun Bontopuru. Lalu, ancaman yang lebih besar memang akan datang dari industri pabrik semen yang hanya terpisah beberapa jajaran bukit saja dari kawasan karst Rammangrammang. Bahkan jalan masuk ke kawasan karst Rammangrammang adalah akses utama truk-truk semen yang hilir-mudik keluar masuk menuju kawasan tambang dan pabriknya.
Mudah-mudahan kerakusan industri semen menggiling batugamping tidak meluas kemana-mana, terutama pada wilayah karst yang mempunyai aspek geologi yang berragam, indah, dan unik seperti di Rammangrammang ini. Rammangrammang yang bermakna belantara, semoga tetap menjadi belantara karst menara yang asri di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.***
http://blog.fitb.itb.ac.id/BBrahmantyo/?p=1700
EmoticonEmoticon