Geowisata (geotourism) adalah kosakata yang relatif baru dalam kepariwisataan nasional. Istilah itu kurang populer dibanding ekowisata (ecotourism), atau agrowisata misalnya. Namun demikian, di dalam UU No. 9/1990 tentang Kepariwisataan, selain wisata agro, baik ekowisata maupun geowisata memang tidak disebut-sebut.
Apa itu geowisata atau geotourism? Istilah geotourism muncul tak lebih tua dari pertengahan 1990-an. Seorang ahli Geologi dari Buckinghamshire Chilterns University di Inggris bernama Tom Hose diperkirakan menjadi orang yang pertama aktif memperkenalkan istilah itu. Ia misalnya menulis di Geological Society pada 1996 suatu makalah berjudul “Geotourism, or can tourists become casual rock hounds: Geology on your doorstep”.
Apakah wisata yang berkaitan dengan kebumian baru dirintis sejak tahun 1990-an itu? Tentu saja tidak. Sejak para ilmuwan menjelajah berbagai tempat di atas Bumi ini, terutama di Abad ke-18, para ahli geologi sudah terbiasa menggabungkan bussiness and leisure secara bersamaan. Dalam ekskursi geologi ke lapangan, rombongan geologiawan telah terbiasa menikmati indahnya pemandangan, keunikan bentang alam dan batuan, asyiknya menyusuri sungai dan pantai, atau mendaki perbukitan, di samping pekerjaan utamanya mencatat proses-proses geologis.
Tetapi untuk konsumsi umum, mungkin dapat diperkirakan bahwa kegiatan geowisata mulai berkembang sejak maraknya para turis beransel (back-pack tourists) pada 1980-an. Satu makalah yang ditulis oleh Jane James 1993 di sebuah konferensi bertema “Memasyarakatkan Ilmu Kebumian” di Southampton, Inggris, misalnya, masih menggunakan istilah pariwisata geologis (geological tourism) alih-alih geotourism.
Tom Hose yang diikuti kawan-kawan geologiawan lainnya di Eropa jelas-jelas mendasarkan geowisata berbasis kepada geologi. Mulai dari Eropalah itulah kemudian muncul istilah “taman bumi” (geopark), yaitu kawasan konservasi yang melindungi peninggalan alamiah objek geologis yang unik, langka, berharga, menarik, dan penting.
Di bawah jaringan UNESCO, di Eropa sudah terbentuk 21 taman bumi yang menjadi daya tarik dan tujuan geowisata utama. Di Asia sudah dirintis oleh Cina yang kemudian diikuti Malaysia. Taman bumi Pulau Langkawi, Malaysia, sejak 2006 resmi menjadi taman bumi pertama di Asia Tenggara di bawah jaringan UNESCO. Indonesia yang memiliki banyak keunikan fenomena geologis, tertinggal jauh dari negeri jiran itu.
Jika Eropa, diikuti Australia, berpijak pada geologi sebagai basis geowisata, Amerika Serikat sedikit lain. Dengan dukungan Yayasan National Geographic yang sudah sangat mapan dan terpandang, Asosiasi Industri Perjalanan Amerika TIA mendefinisikan geowisata sebagai suatu wisata yang memperkenalkan dan mengembangkan karakteristik geografis objek daya tarik wisata, termasuk lingkungan, budaya, estetika, pusaka, dan masyarakatnya.
Dengan cakupan yang luas, geowisata AS dari sisi objek, tak ada bedanya dengan ekowisata. Indonesia sendiri lebih cenderung mengikuti versi Eropa dan Australia.
Ekowisata
Jika di AS geowisata identik dengan ekowisata, di belahan benua lain, geowisata ditempatkan sebagian bagian dari wisata alam minat khusus yang prinsip-prinsipnya mengikuti kaidah-kaidah ekowisata. Geowisata sebagai bagian dari ekowisata bagaimana pun harus tunduk pada prinsip-prinsip berwisata yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan sesuai Kesepakatan Quebec 2002.
Pertemuan Puncak Ekowisata Sedunia yang diselenggarakan di Quebec, Kanada, pada akhir Mei 2002 itu memuat kesepakatan bahwa pelaksanaan ekowisata yang memanfaatkan objek kawasan alami yang relatif belum terganggu dan umumnya dilindungi, harus menjadi alat konservasi dan pembangunan berkelanjutan bagi masyarakat setempat.
Kesepakatan Quebec 2002 untuk ekowisata ini diturunkan sebagai kaidah pengembangan wisata alam alternatif yang harus bercorak mendukung konservasi alam, bersifat edukatif dan memberi pengetahuan bagi wisatawannya, memberi manfaat ekonomi dan budaya bagi masyarakat setempat secara berkelanjutan, dan kecil dampak negatifnya pada lingkungan.
Kesepakatan Quebec 2002 untuk ekowisata ini diturunkan sebagai kaidah pengembangan wisata alam alternatif yang harus bercorak mendukung konservasi alam, bersifat edukatif dan memberi pengetahuan bagi wisatawannya, memberi manfaat ekonomi dan budaya bagi masyarakat setempat secara berkelanjutan, dan kecil dampak negatifnya pada lingkungan.
Ekowisata harus melibatkan masyarakat setempat bukan sebagai objek, tetapi sebagai pemandu ataupun pelaku utama pengadaan fasilitas yang sesuai dengan kaidah-kaidah lingkungan, misalnya. Di lain pihak, harus ada tenaga ahli yang tidak hanya bertindak sebagai pemandu, tetapi sebagai interpreter yang akan memberikan wawasan ilmu pengetahuan tentang objek ekowisata.
Di balik itu semua, manajemen yang baik menjadi kunci keberhasilan aktivitas ekowisata. Seluruhnya harus dikemas dalam konsep-konsep berwisata yang tetap mengedepankan kesenangan. Lebih dari itu, pengutamaan keselamatan.
Di balik itu semua, manajemen yang baik menjadi kunci keberhasilan aktivitas ekowisata. Seluruhnya harus dikemas dalam konsep-konsep berwisata yang tetap mengedepankan kesenangan. Lebih dari itu, pengutamaan keselamatan.
Geowisata Jawa Barat
Jawa Barat telah menyusun sembilan kawasan wisata unggulan (KWU). Kesembilan KWU itu adalah: 1. Wisata Industri dan Bisnis Bekasi-Karawang, 2. Agrowisata Purwakarta-Subang, 3. Budaya Pesisir Cirebon, 4. Alam Pegunungan Puncak, 5. Perkotaan dan Pendidikan Bandung, 6. Kria dan Budaya Priangan, 7. Ekowisata Palabuhanratu, 8. Rekreasi Pantai Pangandaran, dan 9. Minat Khusus Jabar Selatan.
Di semua KWU bisa saja berkembang wisata lain yang mungkin identik. Geowisata bahkan bisa fleksibel untuk beberapa KWU. Daya tariknya sebenarnya bisa terentang mulai dari laut, pantai, sungai, perbukitan hingga puncak pegunungan. Geowisata bisa berkembang di Jawa Barat pada KWU 4 sampai 9. Di luar pembagian KWU, geowisata Jabar dapat dikelompokkan menjadi empat tema, yaitu gunung api, kars, dataran sungai, dan pantai.
Tetapi tanpa interpretasi, keseluruhannya memang hanya suatu wisata alam, pasif, dan kering tak bermakna. Yang diperlukan adalah proaktif mempromosikannya. Kepekaan dan perhatian terhadap masalah lingkungan di masyarakat Barat/Eropa menjadi pegangan kita dalam mengelola ekowisata-geowisata.
Tetapi tanpa interpretasi, keseluruhannya memang hanya suatu wisata alam, pasif, dan kering tak bermakna. Yang diperlukan adalah proaktif mempromosikannya. Kepekaan dan perhatian terhadap masalah lingkungan di masyarakat Barat/Eropa menjadi pegangan kita dalam mengelola ekowisata-geowisata.
Ketika kesan bahwa eko-geowisata Indonesia dikelola secara baik itu tertangkap, informasi langsung tersebar dan selanjutnya kita tinggal menunggu kedatangan kunjungan berikutnya. Tapi hati-hati, tentu hal yang sama dengan dampak sebaliknya bisa terjadi jika berkesan buruk dan mengecewakan.***
Penulis, pengajar GL4022 Geowisata di Prodi Teknik Geologi, ITB dan staf KK Geologi Terapan, FITB, ITB dan anggota KRCB dan IAGI.
oleh Budi Brahmantyo
EmoticonEmoticon