“Memandang alam dengan pengertian jauh lebih berarti dan menyukakan hati daripada hanya menyaksikan keelokannya.” (Albert Heim, 1878, dalam Mechanismus der Gebirgsbildung, diadaptasi sebagai motto Geotrek Indonesia)
Berbekal apa yang ditulis oleh Albert Heim tersebut, Geotrek Indonesia sebuah komunitas pencinta geohistori (geologi dan sejarah) Indonesia mengadakan perjalanan ke Danau Toba dan sekitarnya di Sumatra Utara pada 2-4 November 2012. Tujuan perjalanan ini adalah selain untuk menikmati keindahan pemandangan Danau Toba dan sekitarnya yang sudah terkenal itu, juga untuk belajar di lapangan tentang kejadian geologi danau ini yang dikatakan sebagai hasil erupsi volkanik, dan melihat bukti-buktinya yang tersimpan dalam bentuk morfologi danau dan endapan-endapan volkanik di sekitarnya. Perjalanan ini juga mendiskusikan teori katastrofi Toba, yaitu bahwa erupsi Toba pada 74.000 tahun yang lalu tersebut sangat besar (magakolosal), sehingga efek katastrofiknya sangat mempengaruhi lingkungan biotik Bumi.
Danau Toba dan Pulau Samosir
Danau Toba, Sumatra Utara, terletak 70 km di sebelah selatan Medan. Danau Toba adalah danau terbesar di Asia Tenggara dan termasuk danaudanau terdalam di dunia. Danau Toba sesungguhnya merupakan sebuah kawah gunung api/volkanik, sehingga Danau Toba pun merupakan danau volkanik terbesar di dunia. Letusan gunung api Toba merupakan letusan terbesar di dunia dalam 28 juta tahun terakhir, bahkan mungkin yang terbesar dalam sejarah Bumi yang kita ketahui.
Danau Toba, Sumatra Utara, terletak 70 km di sebelah selatan Medan. Danau Toba adalah danau terbesar di Asia Tenggara dan termasuk danaudanau terdalam di dunia. Danau Toba sesungguhnya merupakan sebuah kawah gunung api/volkanik, sehingga Danau Toba pun merupakan danau volkanik terbesar di dunia. Letusan gunung api Toba merupakan letusan terbesar di dunia dalam 28 juta tahun terakhir, bahkan mungkin yang terbesar dalam sejarah Bumi yang kita ketahui.
Danau Toba berukuran maksimal 100 km x 31 km dengan titik terdalam 529 meter di sebelah utara dekat Haranggaol. Perairan Toba mempunyai luas 1.130 km2, tidak termasuk Pulau Samosir seluas 647 km2 dan pulau-pulau kecil lainnya. Tebing-tebing curam setinggi 400-1.220 m mengelilingi Danau Toba. Tebing-tebing curam ini diyakini merupakan bidang sesar saat terjadi pembentukan kawah volkanik Toba akibat runtuhan.
Danau Toba mendapatkan airnya dari sungaisungai berukuran menengah dan kecil dengan luas wilayah aliran (catchment area) sebesar 3.700 km2. Di samping itu, air berasal dari air hujan dengan curah hujan rata-rata 2.264 mm/tahun. Pengeluaran air dari Danau Toba terjadi di bagian selatannya melalui Sungai Asahan. Fluktuasi muka danau saat ini adalah 1,5 m, tingkat keasaman air pH 7,0 - 8,4, tingkat penguapan 15,8 cm/tahun, suhu air 25,6oC dan suhu udara 19,1-21,2 oC (Hehanusa, 2000).
Ketinggian air Danau Toba saat ini 905 meter, tetapi sebelumnya diyakini pernah mencapai 1.150 m. Surutnya air danau karena air danau memotong lembah baru yang tersusun dari tuf di bagian selatan danau dan bersatu dengan lembah Sungai Asahan (van Bemmelen, 1949).
Pulau Samosir terletak di dalam Danau Toba. Pulau ini bukan gunung api yang tumbuh di dalam kawah volkanik seperti banyak ditemukan di kawah volkanik lainnya, tetapi bagian puncak Gunung api Toba yang ikut runtuh ke dalam kawah ketika terjadi pembentukan kawah Toba, kemudian terangkat kembali (resurgent cauldron).
Pulau Samosir berukuran 45 km x 20 km. Pulau ini sebenarnya merupakan semenanjung yang disambungkan oleh tanah genting (isthmus) sepanjang 200 meter dengan wilayah di sebelah barat Danau Toba. Pada tahun 1906, Belanda membangun kanal di tanah genting ini, sehingga Samosir menjadi sebuah pulau.
Bagian timur Pulau Samosir sangat curam dengan kawasan pantai yang sempit dan langsung naik ke bukit-bukit Plato Samosir di bagian tengah pulau dengan titik tertinggi 780 meter di atas muka danau. Lereng plato ke arah barat dan selatan landai. Plato Samosir hampir gersang dengan hutan-hutan kecil tersebar di beberapa tempat, rawa-rawa dan beberapa danau kecil, yang terbesar di antaranya bernama Danau Sidihoni.
Evolusi Geologi dan Erupsi Toba 74.000 Tahun yang Lalu
Menurut van Bemmelen (1949), gunung api dan Danau Toba terjadi di puncak suatu kulminasi geologi di Sumatra Utara yang disebutnya Kulminasi Batak atau Tumor Batak, yaitu suatu dataran tinggi menonjol sendiri di Sumatra Utara berukuran 150 x 275 km. Tumor Batak ini ditandai oleh puncakpuncak gunung yang tersebar di seluruh areanya, yaitu Gunung Sibuatan (2.457 m) di sebelah barat laut Danau Toba, Gunung Pangulubao (2.151 m) di sebelah timur, Gunung Surungan (2.173 m) di sebelah tenggara, dan Gunung Uludarat (2.157 m) di sebelah barat. Semua gunung ini disusun oleh batuan tua berumur lebih tua dari 25 juta tahun, pada Zaman Paleogen dan pra-Tersier.
Menurut van Bemmelen (1949), gunung api dan Danau Toba terjadi di puncak suatu kulminasi geologi di Sumatra Utara yang disebutnya Kulminasi Batak atau Tumor Batak, yaitu suatu dataran tinggi menonjol sendiri di Sumatra Utara berukuran 150 x 275 km. Tumor Batak ini ditandai oleh puncakpuncak gunung yang tersebar di seluruh areanya, yaitu Gunung Sibuatan (2.457 m) di sebelah barat laut Danau Toba, Gunung Pangulubao (2.151 m) di sebelah timur, Gunung Surungan (2.173 m) di sebelah tenggara, dan Gunung Uludarat (2.157 m) di sebelah barat. Semua gunung ini disusun oleh batuan tua berumur lebih tua dari 25 juta tahun, pada Zaman Paleogen dan pra-Tersier.
Sesar Sumatra memotong bagian barat Tumor Batak tepat di sebelah barat Danau Toba sepanjang kira-kira 1.700 km. Danau Toba atau Kawah Toba terletak di puncak Tumor Batak. Panjang kawah ini dari barat laut - tenggara hampir 100 km, dan lebar badat daya – timur laut maksimum 31 km. Luas area Toba 2.269 km2. Berdasarkan topografi dan geologinya, van Bemmelen (1949) mengemukakan evolusi pembentukan gunung api dan Danau Toba.
Evolusi Toba dimulai pada sekitar 13 juta tahun yang lalu (Kala Miosen Tengah) ketika dimulai pengangkatan Pegunungan Barisan oleh proses tektonik. Pengangkatan ini terus berlangsung dan pada sekitar 2 juta tahun yang lalu (Plio-Pleistosen) dan terjadilah Kulminasi Batak atau Tumor Batak yang memanjang membentuk Tinggian Wilhelmina-Simanukmanuk.
Proses tektonik ini dalam banyak hal disertai dengan proses magmatisme atau volkanisme akibat turutnya magma bergerak oleh deformasi kerak Bumi. Pada saat pengangkatan Tumor Batak terjadi juga pergerakan magma yang menyebabkan intrusi (magma bergerak di antara batuan di bawah permukaan) atau ekstrusi (magma keluar permukaan menjadi lava). Intrusi dan ekstrusi ini menghasilkan batuan andesitik yang meleler di beberapa tempat di sekeliling Toba sekarang, misalnya di wilayah depresi/ wilayah turun Graben Batang Toru-Renun di sebelah barat daya Toba, Surungan di ujung selatan Toba, di Haranggaol di sebelah U dan TL Toba, dan di Silalahi dan Binangara di barat laut Toba, serta di Paropo di antara Tongging dan Silalahi. Oleh van Bemmelen (1949), semua batuan andesit ini disebut Andesit pre-Toba, atau menurut Aldiss dan Ghazali (1984) disebut Pusat-pusat Gunung Api Plio-Plistosen.
Tinggian Wilhelmina-Simanukmanuk yang membentuk Kulminasi Batak rupanya tidak berlangsung lama dalam waktu geologi. Pengangkatan ini berhubungan
dengan pasokan magma yang sangat besar, ketika semakin terangkat, bagian puncak Tumor Batak (Gunung api Toba) mulai retak-retak, maka dengan terjadi retakan tersebut terdapat kontak antara permukaan dengan magma bertekanan tinggi. Lalu segeralah terjadi pelepasan tekanan sangat tinggi dari magma yang naik ke permukaan dan menghasilkan letusan/erupsi leburan magma silikat asam yang sangat dahsyat atau katastrofik. Jadi letusan Toba adalah melalui fissure eruptions (letusan retakan). Berdasarkan penelitian modern, letusan katastrofik gunung api Toba terjadi pada 73.500 ± 3000 atau 73.000 ± 4000 tahun yang lalu (Chesner dkk., 1991). Secara umum sering disebutkan letusan tersebut terjadi pada 74.000 tahun yang lalu (Rampino dan Self, 1993).
dengan pasokan magma yang sangat besar, ketika semakin terangkat, bagian puncak Tumor Batak (Gunung api Toba) mulai retak-retak, maka dengan terjadi retakan tersebut terdapat kontak antara permukaan dengan magma bertekanan tinggi. Lalu segeralah terjadi pelepasan tekanan sangat tinggi dari magma yang naik ke permukaan dan menghasilkan letusan/erupsi leburan magma silikat asam yang sangat dahsyat atau katastrofik. Jadi letusan Toba adalah melalui fissure eruptions (letusan retakan). Berdasarkan penelitian modern, letusan katastrofik gunung api Toba terjadi pada 73.500 ± 3000 atau 73.000 ± 4000 tahun yang lalu (Chesner dkk., 1991). Secara umum sering disebutkan letusan tersebut terjadi pada 74.000 tahun yang lalu (Rampino dan Self, 1993).
Materi letusan sebagian besar berupa campuran gas dan magma yang sudah menepung menjadi abu volkanik akibat kuatnya tekanan, menyala, bercampur
dengan fragmen-fragmen batuan lebih tua berasal dari dinding celah-celah gunung. Awan volkanik berapi ini terlempar ke mana-mana dan endapannya menuruni dataran rendah di sekeliling Toba terutama ke dataran rendah luas di sebelah timur laut, yaitu area Pematang Siantar. Abu volkanik mengendap kembai dan menjadi tuf. Aliran tuf di sekitar Kawah Toba luas penyebarannya 20.000-30.000 km2, di bagian tengah tebalnya sampai ratusan meter. Volume total material letusan Toba menurut van Bemmelen (1949) adalah 2000 km3.
dengan fragmen-fragmen batuan lebih tua berasal dari dinding celah-celah gunung. Awan volkanik berapi ini terlempar ke mana-mana dan endapannya menuruni dataran rendah di sekeliling Toba terutama ke dataran rendah luas di sebelah timur laut, yaitu area Pematang Siantar. Abu volkanik mengendap kembai dan menjadi tuf. Aliran tuf di sekitar Kawah Toba luas penyebarannya 20.000-30.000 km2, di bagian tengah tebalnya sampai ratusan meter. Volume total material letusan Toba menurut van Bemmelen (1949) adalah 2000 km3.
Penelitian-penelitian modern (misalnya Rose dan Chesner, 1987) menunjukkan bahwa abu volkanik Toba menyebar di seluruh Asia Selatan sampai India dan juga mengendap di dasar laut Samudera Hindia dan Laut Cina Selatan, meliputi kawasan seluas 4 juta km2 dan volume materi letusan minimal 2800 km3.
Dengan besarnya materi yang diletuskan, maka terjadilah pengosongan kantong magma di bawah Toba. Hal ini telah menyebabkan runtuhnya puncak Toba menjadi sebuah kawah atau cauldron. Volume kawah ini sekitar 1000-2000 km3. Runtuhan puncak Toba di bagian tengah Kulminasi Batak ini terjadi melalui sesar-sesar terban atau sesar runtuh yang kini membentuk gawir-gawir sesar yang curam ratusan meter tingginya di beberapa tempat di sekeliling Danau Toba. Di bagian barat, sesar-sesar terban ini memotong Sesar Sumatra. Kawah runtuhan ini kemudian diisi air melalui air hujan atau sungaisungai yang mengalir menuju depresi Toba. Ssetelah diisi air, jadilah kawah gunung api ini terkenal sebagai Danau Toba.
Pulau Samosir dan Semanjung Uluan semula adalah bagian puncak Toba yang juga tertutup material tuf hasil letusan Toba. Dalam proses pembentukan kawah akibat runtuhan seperti diterangkan di atas, puncak Toba ini ikut runtuh. Tetapi kemudian, bagian runtuhan ini terangkat kembali akibat aktivitas tektonik dan magmatik setelah letusan Toba. Pulau Samosir terangkat miring ke sebelah barat, bagian barat landai dan bagian timurnya cukup curam. Semanjung Uluan terangkat miring ke timur. Jadi Pulau Samosir dan Semenanjung Uluan adalah bagian kawah Toba yang terangkat kembali (resurgent cauldron). Ditemukannya endapan danau (diatomite) di Pulau Samosir menunjukkan bahwa Pulau Samosir pernah berada di bawah muka danau. Bila diperhitungkan, pulau ini telah terangkat paling sedikit 700 meter sejak letusan mega-kolosal Toba terjadi.
Aktivitas Volkanik Pasca-Toba
Kegiatan magmatik dan volkanik Toba setelah letusan katastrofik sekitar 74.000 tahun lalu (postvulkanismus) masih terjadi, bahkan sampai sekarang. Leleran lava andesit hipersten yang merupakan mineral dominan di lava andesit ini, terjadi di sesar sebelah barat daya Toba, membentuk kerucut volkanik Pusukbuhit, yang sebagian lavanya tersilisifikasi oleh proses hembusan gas belerang solfatara.
Kegiatan magmatik dan volkanik Toba setelah letusan katastrofik sekitar 74.000 tahun lalu (postvulkanismus) masih terjadi, bahkan sampai sekarang. Leleran lava andesit hipersten yang merupakan mineral dominan di lava andesit ini, terjadi di sesar sebelah barat daya Toba, membentuk kerucut volkanik Pusukbuhit, yang sebagian lavanya tersilisifikasi oleh proses hembusan gas belerang solfatara.
Semburan air panas (fumarola) dan gas belerang (solfatara) di wilayah Pangururan di dekat Pusukbuhit adalah juga gejala volkanisme pasca-Toba. Gejala volkanik pasca-Toba yang lain adalah pembentukan gunung-gunung dasitik-andesitik yang banyak terjadi berhubungan dengan sesar-sesar akibat runtuhan Toba, yaitu kerucut-kerucut volkanik Singgalang (1.865 m), Tandukbenua, juga beberapa gunung api aktif sekitar 30-40 km di sebelah utara Danau Toba yaitu Sinabung (2.460 m) dan Sibayak (2.094 m). Gunung-gunung api ini belum mati sama-sekali, masih terjadi aktivitas pasca-volkanik pada gununggunung ini.
Sejarah Erupsi Toba
Pengukuran endapan-endapan volkanik berupa tuf di sekitar Danau Toba menunjukkan bahwa Gunung api Toba ternyata telah meletus beberapa kali. Paling tua diketahui dari Tuf Dasit Haranggaol 1,2 juta tahun (Chesner dkk. 1991), kemudian terjadi juga letusan pada 840.000 tahun yang lalu (Diehl dkk., 1987), 501.000 tahun yang lalu (Chesner dkk., 1991), dan letusan terbesar adalah yang terjadi pada 74.000 tahun yang lalu. Berdasarkan umur-umur letusannya, Chesner dkk. (1991) memperkirakan daur letusan besar terjadi setiap 340.000-430.000 tahun sekali.
Tiga letusan/erupsi gunung api terbesar di dunia pada zaman prasejarah maupun sejarah terjadi di Indonesia, yaitu erupsi mega-kolosal Toba 74.000 tahun yang lalu, erupsi Tambora 1815 M, dan erupsi Krakatau 1883 M. Letusan Tambora melontarkan material sebanyak 160 km3, menewaskan 91.000 orang baik langsung maupun tak langsung. LetusanKrakatau melontarkan material 18 km3, menewaskan 36.000 orang terutama akibat tsunami yang dibangkitkan oleh material letusan. Sementara Toba jauh di atas itu, ia melontarkan 2800 km3 material dan mungkin menewaskan 90 % penduduk Bumi saat itu (Ambrose, 1998).
Untuk mengukur kekuatan ledakan gunung api, para ahli gunung api telah mengembangkan parameter VEI, volcanic explosivity index. Dari kriteria-kriteria tersebut, maka erupsi Krakatau 1883 M berada pada VEI = 6 (paroxysmal), Tambora 1815 M pada VEI = 7 (colossal), dan erupsi Toba 74.000 tahun yang lalu pada VEI = 8 (megacolossal). Berdasarkan banyak studi, maka frekuensi erupsi dengan VEI ≥ 6, di seluruh dunia terjadi 1 x di dalam 50 tahun; VEI ≥ 7, terjadi 1 x di dalam 450 tahun; dan VEI ≥ 8, terjadi 1 x di dalam 300.000 tahun atau lebih. Batas paling tinggi VEI adalah antara 8 dan 9. Erupsi Toba mungkin merupakan batas itu (Lockwood dan Hazlett, 2010).
Katastro fi Geologi oleh Super-erupsi
Katastrofi geologi adalah suatu proses geologi yang menyebabkan perubahan sangat besar bagi lingkungan Bumi dan penghuninya, ditandai dengan rusak atau hancurnya lingkungan, kondisi iklim yang tidak menunjang bagi kelangsungan kehidupan, sehingga sebagian besar makhluk hidup mengalami kepunahan dalam skala besar (kepunahan massa/ mass extinction). Dengan terjadinya erupsi Toba dalam skala megakolosal, VEI = 8, yang terbesar di Bumi dalam 28 juta tahun terakhir, maka suatu katastrofi geologi diperkirakan telah terjadi. Kejadian ini secara definitif disebut sebagai “Teori Katastrofi Toba”.
Katastrofi Toba terjadi melalui dua cara, yaitu musim dingin volkanik (volcanic winter) dan punahnya sebagian besar manusia modern yang saat itu sedang bermigrasi keluar dari Afrika (population bottlenecking) (Gibbons, 1993; Rampino dan Self, 1993; Ambrose, 1998)
Musim dingin volkanik terjadi bila banyak abu tersembur masuk ke dalam atmosfer. Kadar asam belerang pun memasuki atmosfer , dan bila abu volkanik terinjeksi lebih tinggi ke dalam atmosfer, maka abu volkanik dan asam belerang tersebut akan tinggal lebih lama di dalam atmosfer. Kejadiannya bisa selama berabad-abad, bahkan ribuan tahun, lalu mereka akan menangkis dan mengubah influks energi matahari ke atmosfer bagian bawah. Manusia modern yang hidup antara 1815-1818 pun menderita akibat letusan Tambora. Bagaimana bila itu terjadi 74.000 tahun yang lalu dan berasal dari sebuah erupsi megakolosal yang puluhan kali lebih kuat daripadaTambora? Maka, mungkin benar, bahwa telah terjadi suatu kepunahan massa.
Letusan Toba 74.000 tyl telah menghasilkan 3 milyar ton abu halus dan aerosol H2SO4 dan SO2 yang terlontar setinggi 27-37 km menginjeksi atmosfer dan sangat signifikan mengurangi transmisi sinar Matahari ke permukaan Bumi (Rampino dan Self, 1992; Chesner dkk., 1991). Diperhitungkan bahwa transmisi sinar Matahari saat itu hanya 0,001-10 %. Menurunnya daya terima sinar Matahari ini telah menyebabkan temperatur menurun 3-5oC. Saat itu Zaman Es sedang menjelang, dan letusan Toba diyakini telah mempercepat datangnya Zaman Es ini. Toba juga telah melepaskan sebanyak 540 milyar ton air yang naik sampai stratosfer dan dapat mengubah gas belerang yang dilontarkan Toba menjadi 1-10 milyar ton aerosol H2SO4. Posisi Toba di wilayah tropis juga membuatnya lebih efisien untuk abu dan gas dari Toba memasuki stratosfer di kedua belahan Bumi.
Mengenai hal ini, para ahli umumnya sepakat bahwa letusan megakolosal Toba telah memicu ataumempercepat musim dingin sesuai siklus geologi. Mereka hanya berbeda pendapat di mekanisme terjadinya musim dingin volkanik dan tingkat penurunan temperatur, misalnya yang didiskusikan oleh Oppenheimer (2002) dan Robock dkk. (2009).
Kemungkinan terjadinya penciutan populasi manusia akibat erupsi mega-kolosal Toba pertama kali dikemukakan oleh Gibbons (1993). Pendapat ini kemudian segera disokong oleh Rampino dan Self (1993). Teori bottleneck ini kemudian dikembangkan oleh Ambrose (1998) dan Rampino dan Ambrose (2000). Menurut para pendukung teori genetic bottleneck, antara 50.000-100.000 tyl, populasi manusia mengalami penurunan yang sangat drastis, dari sekitar 100.000 individu menjadi sekitar 10.000 individu (Gibbons, 1993; Ambrose, 1998). Bukti-bukti genetik juga menunjukkan bahwa semua manusia yang hidup sekarang, meskipun sangat bervariasi, diturunkan dari populasi yang sangat kecil antara 1000-10.000 pasangan sekitar 70.000 tyl.
Setelah genetic bottleneck dan pemulihan kembali, diiferensiasi ras populasi manusia terjadi dengan cepat. Oleh karenanya, diajukan pendapat bahwa Toba telah menyebabkan ras-ras modern berdiferensiasi secara mendadak hanya sekitar 70.000 tahun yang lalu, daripada secara berangsur selama satu juta tahun.
Terjadinya musim dingin volkanik dan Zaman Es yang segera karena letusan Toba dapat menjawab suatu paradoks tentang asal Afrika buat manusia, yaitu: bila kita semua berasal dari Afrika (Out of Africa) mengapa kita semuanya tidak mirip orang Afrika? Karena musim dingin volkanik dan Zaman Es yang segera telah mengurangi populasi sampai tingkat cukup rendah untuk meneruskan efek nenek moyang, lalu terjadi aliran genetik dan adaptasi lokal menghasilkan perubahan cepat pada populasi yang selamat, yang menyebabkan manusia-manusia di seluruh dunia terlihat begitu berbeda. Dengan kata lain, Toba telah menyebabkan ras modern manusia terdiferensiasi secara mendadak (Ambrose, 1998).
Demikian, beberapa aspek tentang Toba, tentang sejarah geologi, tektonik dan erupsi katastrofiknya pada 74.000 tahun yang lalu, tentang efeknya bagi iklim dunia dan akibatnya atas katastrofi biologi berupa penciutan jumlah manusia. Mengunjungi tempat-tempat dengan fenomena geo-histori di Indonesia yang menarik sangat bermanfaat untuk meningkatkan pengetahuan tentang tempat tersebut, yang mungkin sebelumnya tidak diketahui dengan baik. Hal ini akan makin membuat kita takjub atas warisan geo-histori Indonesia, sehingga kita dapat lebih mencintainya.
Penulis: Awang H. Satyana
Penulis adalah spesialis utama di SKMIGAS dan penggiat
komunitas “Geotrek Indonesia”.
Penulis adalah spesialis utama di SKMIGAS dan penggiat
komunitas “Geotrek Indonesia”.
EmoticonEmoticon